KABAR BERMAKNA HANYA MENGEKSPOS INFO PENTING DAN BERMAKANA

Saturday, December 14, 2013




Para desainer kurikulum dan para programmer pendidkan dan pelatihan harus mengenal dengan baik dan menguasai, serta yang paling penting mampu menggunakan dengan tepat berbagai metode yang tersedia. Dalam mata diklat ini disajikan informasi penting mengenai metode yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Metode-metode tersebut dapat dipilih dan digunakan metode: 
(1) Alur Tindakan (action maze), 
(2) Curah Gagasan (Brainstorming), 
(3) Kelompok sibuk (buzz groups), 
(4) Studi kasus (case study), 
(5) Teknik Delphi (Delphi Technique), 
(6) Demonstrasi (demonstration), 
(7) Diskusi (discussion), 
(8) Latihan (exercise), 
(9) Akuarium (fishbowl), 
(10) Permainan (game), 
(11) Kotak surat masuk (in-basket), 
(12) Proses insiden (incident process)
(13) Pemodelan interaktif (interactive modeling), 
(14) Wawancara (interview), 
(15) Kontrak pembelajaran (learning contracts), 
(16) Ceramah (lecture), 
(17) Panel, 
(18) Pengajaran terprogram (programmed instruction), 
(19) Pertanyaan (questioning), 
(20) Membaca (reading), 
(21) Permainan peran (role play), 
(22) simulasi (simulation), dan 
(23) inkuairi. Masing memiliki kelebihan dan kelemahan..  

Metode Pembelajaran Inkuiri merupakan metode yang menekankan kepada pengembangan intelektual anak. Perkembangan intelektual menurut Piaget dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu maturation, physical experience, social experience, dan equilibration.
Metode Pembelajaran Kooperatif (MPK) 

 adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa/peserta diklat dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Ada empat unsur penting dalam MPK, yaitu: 
(1) adanya peserta dalam kelompok; 
(2) adanya aturan kelompok; 
(3) adanya upaya belajar setiap anggota kelompok; dan 
(4) adanya tujuan yang harus dicapai.

Salah satu metode pembelajaran kelompok adalah metode pembelajaran kooperatif (cooperative learning-MPK). MPK merupakan metode pembelajaran kelompok yang akhir-akhir ini menjadi perhatian dan dianjurkan para ahli pendidikan untuk digunakan. Slavin (1995) mengemukakan dua alasan, pertama, beberapa basil penelitian membuktikan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa sekaligus dapat meningkatkan kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan din dan orang lain, serta dapat meningkatkan harga din. Kedua, pembelajaran kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar berpikir, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan keterampilan. Dari dua alasan tersebut, maka pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran yang dapat memperbaiki sistem pembelajaran yang selama ini memiliki kelemahan.
Metode Pembelajaran Kooperatif merupakan model pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokan/tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang berbeda (heterogen). Sistem penilaian dilakukan terhadap kelompok. Setiap kelompok akan memperoleh penghargaan (reward), jika kelompok mampu menunjukkan prestasi yang dipersyaratkan. Dengan demikian, setiap anggota kelompok akan mempunyai ketergantungan positif. Ketergantungan semacam itulah yang selanjutnya akan memunculkan tanggung jawab individu terhadap kelompok dan keterampilan interpersonal dan setiap anggota kelompok. Setiap individu akan saling membantu, mereka akan mempunyai motivasi untuk keberhasilan kelompok, sehingga setiap individu akan memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan kontribusi deini keberhasilan kelompok.
MPK mempunyai dua komponen utama, yaitu komponen tugas kooperatif (cooperative task) dan komponen struktur insentif kooperatif (cooperative incentive structure). Tugas kooperatif berkaitan dengan hal yang menyebabkan anggota bekerja sama dalam menyelesaikan tugas kelompok; sedangkan struktur insentif kooperatif merupakan sesuatu yang membangkitkan motivasi individu untuk bekerja sama mencapai tujuan kelompok. Struktur insentif dianggap sebagai keunikan dan pembelajaran kooperatif, karena melalui struktur insentif setiap anggota kelompok bekerja keras untuk belajar, mendorong dan memotivasi anggota lain menguasai materi pelajaran, sehingga mencapai tujuan kelompok. Jadi, hal yang menarik dari MPK adalah adanya harapan selain memiliki dampak pembelajaran, yaitu berupa peningkatan prestasi belajar peserta didik (student achievement) juga mempunyai dampak pengiring seperti relasi sosial, penerimaan terhadap peserta yang dianggap lemah, harga diri, norma akadeinik, penghargaan terhadap waktu, dan suka memberi pertolongan pada yang lain.
Metode pembelajaran ini bisa digunakan manakala: (1) Guru menekankan pentingnya usaha kolektif di samping usaha individual dalam belajar, (2) Jika guru menghendaki seluruh siswa (bukan hanya siswa yang pintar saja) untuk memperoleh keberhasilan dalam belajar, (3) Jika guru ingin menanamkan, bahwa siswa dapat belajar dan teman lainnya, dan belajar dan bantuan orang lain, (4) Jika guru menghendaki untuk mengembangkan kemampuan komunikasi siswa sebagai bagian dan isi kurikulum, (5) Jika guru menghendaki meningkatnya motivasi siswa dan menambah tingkat partisipasi mereka, (6) Jika guru menghendaki berkembangnya kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dan menemukan berbagai solusi pemecahan.
Terdapat empat prinsip dasar pembelajaran kooperatif, yaitu :
1.       Prinsip Ketergantungan Positif (Positive Interdependence)
       Dalam pembelajaran kelompok, keberhasilan suatu penyelesaian tugas sangat tergantung kepada usaha yang dilakukan setiap anggota kelompoknya. Oleh sebab itu, perlu disadari oleh setiap anggota kelompok keberhasilan penyelesaian tugas kelompok akan ditentukan oleh kinerja masing-masing anggota. Dengan demikian, semua anggota dalam kelompok akan merasa saling ketergantungan.
       Untuk terciptanya kelompok kerja yang efektif, setiap anggota kelompok masing-masing perlu membagi tugas sesuai dengan tujuan kelompoknya. Tugas tersebut tentu saja disesuaikan dengan kemampuan setiap anggota kelompok. Inilah hakikat ketergantungan positif, artinya tugas kelompok tidak mungkin bisa diselesaikan manakala ada anggota yang tak bisa menyelesaikan tugasnya, dan semua ini memerlukan kerja sama yang baik dan masing-masing anggota kelompok. Anggota kelompok yang mempunyai kemampuan lebih, diharapkan mau dan mampu membantu temannya untuk menyelesaikan tugasnya.
2.       Tanggung Jawab Perseorangan (Individual Accountability)
       Prinsip ini merupakan konsekuensi dan prinsip yang pertama. Oleh karena keberhasilan kelompok tergantung pada setiap anggotanya, maka setiap anggota kelompok harus memiliki tanggung jawab sesuai dengan tugasnya. Setiap anggota harus memberikan yang terbaik untuk keberhasilan kelompoknya. Untuk mencapai hal tersebut, guru perlu memberikan penilaian terhadap individu dan juga kelompok. Penilaian individu bisa berbeda, akan tetapi penilaian kelompok harus sama.
3.       Interaksi Tatap Muka (Face to Face Promotion Interaction)
       Pembelajaran kooperatif memberi ruang dan kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka saling memberikan informasi dan saling membelajarkan. Interaksi tatap muka akan memberikan pengalaman yang berharga kepada setiap anggota kelompok untuk bekerja sama, menghargai setiap perbedaan, memanfaatkan kelebihan masing-masing anggota, dan mengisi kekurangan masing-masing. Kelompok belajar kooperatif dibentuk secara heterogen, yang berasal dan budaya, latar belakang sosial, dan kemampuan akadeinik yang berbeda. Perbedaan semacam ini akan menjadi modal utama dalam proses saling memperkaya antaranggota kelompok.
4.       Partisipasi dan Komunikasi (Participation Coinmunication)
       Pembelajaran kooperatif melatih siswa untuk dapat mampu berpartisipasi aktif dan berkomunikasi. Kemampuan ini sangat penting sebagai bekal mereka dalam kehidupan di masyarakat kelak. Oleh sebab itu, sebelum melakukan kooperatif, guru perlu membekali siswa dengan kemampuan berkomunikasi. Tidak setiap siswa mempunyai kemampuan berkomunikasi, misalnya kemampuan mendengarkan dan kemampuan berbicara, padahal keberhasilan kelompok ditentukan oleh partisipasi setiap anggotanya.
Untuk dapat melakukan partisipasi dan komunikasi, siswa perlu dibekali dengan kemampuan-kemampuan berkomunikasi. Misalnya, cara menyatakan ketidaksetujuan atau cara menyanggah pendapat orang lain secara santun, tidak memojokkan; cara menyampaikan gagasan dan ide-ide yang dianggapnya baik dan berguna. Keterampilan berkomunikasi memang memerlukan waktu. Siswa tak mungkin dapat menguasainya dalam waktu sekejap. Oleh sebab itu, guru perlu terus melatih dan melatih, sampai pada akhirnya setiap siswa memiliki kemampuan untuk menjadi komunikator yang baik.
Prosedur pembelajaran kooperatif pada prinsipnya terdiri atas empat tahap, yaitu: 1. penjelasan materi; 2. belajar dalam kelompok; 3. penilaian; dan 4. pengakuan tim.
1.       Penjelasan Materi
       Tahap penjelasan diartikan sebagai proses penyampaian pokokpokok materi pelajaran sebelum siswa belajar dalam kelompok. Tujuan utama dalam tahap ini adalah pemahaman siswa terhadap pokok materi pelajaran. Pada tahap ini guru memberikan gambaran umum tentang materi pelajaran yang harus dikuasai yang selanjutnya siswa akan memperdalam materi dalam pembelajaran kelompok (tim). Pada tahap ini guru dapat menggunakan metode ceramah, curah pendapat, dan tanya jawab, bahkan kalau perlu guru dapat menggunakan demonstrasi. Di samping itu, guru juga dapat menggunakan berbagai media pembelajaran agar proses penyampaian dapat lebih menarik siswa.
2.       Belajar dalam Kelompok
       Setelah guru menjelaskan gambaran umum tentang pokokpokok materi pelajaran, selanjutnya siswa diminta untuk belajar pada kelompoknya masing-masing yang telah dibentuk sebelumnya. Pengelompokan dalam SPK bersifat heterogen, artinya kelompok dibentuk berdasarkan perbedaan-perbedaan setiap anggotanya, baik perbedaan gender, latar belakang agama, sosial-ekonoini, dan etnik, serta perbedaan kemampuan akademik. Dalam hal kemampuan akademis, kelompok pembelajaran biasanya terdiri dan satu orang berkemampuan akademis tinggi, dua orang dengan kemampuan sedang, dan satu lainnya dan kelompok kemampuan akademis kurang (Anita Lie, 2005). Selanjutnya, Lie menjelaskan beberapa alasan lebih disukainya pengelompokan heterogen. Pertama, kelompok heterogen memberikan kesempatan untuk saling mengajar (peer tutoring) dan saling mendukung. Kedua, kelompok ini meningkatkan relasi dan interaksi antar ras, agama, etnis, dan gender. Terakhir, kelompok heterogen memudahkan pengelolaan kelas karena dengan adanya satu orang yang berkemampuan akademis tinggi, guru mendapatkan satu asisten untuk setiap tiga orang. Melalui pembelajaran dalam tim siswa didorong untuk melakukan tukar-menukar (sharing) informasi dan pendapat, mendiskusikan permasalahan secara bersama, membandingkan jawaban mereka, dan mengoreksi hal-hal yang kurang tepat.
3.       Penilaian
       Penilaian dalam SPK bisa dilakukan dengan tes atau kuis. Tes atau kuis dilakukan baik secara individual maupun secara kelompok. Tes individual nantinya akan memberikan informasi kemampuan setiap siswa; dan tes kelompok akan memberikan informasi kemampuan setiap kelompok. Hasil akhir setiap siswa adalah penggabungan keduanya dan dibagi dua. Nilai setiap kelompok memiliki niai sama dalam kelompoknya. Hal ini disebabkan nilai kelompok adalah nilai bersama dalam kelompoknya yang merupakan hasil kerja sama setiap anggota kelompok.
4.       Pengakuan Tim
       Pengakuan tim (team recognition) adalah penetapan tim yang dianggap paling menonjol atau tim paling berprestasi untuk kemudian diberikan penghargaan atau hadiah. Pengakuan dan pemberian penghargaan tersebut diharapkan dapat memotivasi tim untuk terus berprestasi dan juga membangkitkan motivasi tim lain untuk lebih mampu meningkatkan prestasi mereka.

Metode Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning-CTL)
CTL adalah suatu metode pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan peserta secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong peserta/siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus kita pahami.
Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.
Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan bermakna secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.
Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, akan tetapi sebagai bekal mereka dalam mengarungi kehidupan nyata.
Sehubungan dengan hal itu, terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL.
a.        Dalam CTL, pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activiting knowledge), artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dan pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain.
b.       Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge). Pengetahuan baru itu diperoleh dengan cara deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian memperhatikan detailnya.
c.        Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tetapi untuk dipahami dan diyakini, misalnya dengan cara meininta tanggapan dan yang lain tentang pengetahuan yang diperolehnya dan herdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan itu dikembangkan.
d.       Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge), artinya pengetahuan dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan perilaku siswa.
e.        Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap Model pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan suatu model.
Dalam proses pembelajaran kontekstual, setiap instruktur perlu memahami tipe belajar dalam dunia peserta, artinya instruktur perlu menyesuaikan gaya mengajar terhadap gaya belajar peserta. Dalam proses pembelajaran konvensional, hal ini sering terlupakan sehingga proses pembelajaran tak ubahnya sebagai proses pemaksaan kehendak. Sehubungan dengan hal itu, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan bagi setiap instruktur manakala menggunakan pendekatan CTL.
a.        Peserta dalam pembelajaran kontekstual dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang diinilikinya. Peserta adalah orang dewasa dalam bentuk kecil- sebagai peserta diklat, melainkan organisme yang sedang berada dalam tahap-tahap perkembangan. Kemampuan belajar akan sangat ditentukan oleh tingkat perkembangan dan pengalaman mereka. Dengan demikian, peran instruktur bukanlah sebagai “penguasa” yang memaksakan kehendak melainkan sebagai pembimbing peserta agar mereka bisa belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
b.       Setiap peserta memiliki kecenderungan untuk belajar hal-hal yang baru dan penuh tantangan. Kegemaran peserta adalah mencoba hal-hal yang dianggap aneh dan baru. Oleh karena itulah belajar bagi mereka adalah mencoba memecahkan setiap persoalan yang menantang. Dengan demikian, instruktur berperan dalam memilih bahan-bahan belajar yang dianggap penting untuk dipelajari oleh peserta.
c.        Belajar bagi peserta adalah proses mencari keterkaitan atau keterhubungan antara hal-hal yang baru dengan hal-hal yang sudah diketahui. Dengan demikian, peran instruktur adalah membantu agar setiap peserta mampu menemukan keterkaitan antara pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya.
d.       Belajar bagi peserta adalah proses menyempurnakan skema yang telah ada (asimilasi) atau proses pembentukan skema baru (akomodation), dengan demikian tugas instruktur adalah memfasilitasi (mempermudah) agar peserta mampu melakukan proses asimilasi dan proses akomodasi.
Untuk lebih memahami bagaimana mengaplikasikan CTL dalam proses pembelajaran, di bawah ini disajikan contoh penerapannya. Dalam contoh tersebut dipaparkan perbandingan antara bagaimana instruktur menerapkan pembelajaran dengan pola konvensional dan dengan pola CTL.


Metode Pembelajaran Konvensional

Ciri-ciri penggunaan mmetode pembelajaran konvensional
a.        Peserta disuruh untuk membaca buku tentang pasar.
b.       Instruktur menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan pokok-pokok materi pelajaran seperti yang terkandung dalam indikator hasil belajar.
c.        Instruktur memberi kesempatan kepada peserta untuk bertanya manakala ada hal-hal yang dianggap kurang jelas (diskusi).
d.       Instruktur mengulas pokok-pokok materi pelajaran yang telah disampaikan dilanjutkan dengan menyimpulkan.
e.        Instruktur melakukan post-tes evaluasi sebagai upaya untuk mengecek terhadap pemahaman siswa tentang materi pelajaran yang telah disampaikan.
f.        Instruktur menugaskan kepada peserta untuk membuat karangan sesuai dengan tema.
Dari model pembelajaran seperti yang telah dijelaskan di atas, maka tampak bahwa proses pembelajaran sepenuhnya ada pada kendali instruktur. Peserta diberi kesempatan untuk mengeksplorasi. Pengalaman belajar peserta terbatas, hanya sekadar mendengarkan. Mungkin terdapat pengembangan proses berpikir, tetapi proses tersebut sangat terbatas dan terjadi pada proses berpikir taraf rendah. Melalui pola pembelajaran semacam itu, maka jelas faktor-faktor psikologis peserta tidak berkembang secara utuh, misalnya mental dan motivasi belajar peserta.


Metode Pembelajaran CTL

Untuk mencapai kompetensi yang sama dengan menggunakan CTL instruktur melakukan langkah-langkah pembelajaran seperti di bawah ini.
 Pendahuluan
a.        Instruktur menjelaskan kompetensi yang harus dicapai serta manfaat dan proses pembelajaran dan pentingnya materi pelajaran yang akan dipelajari.
b.       Instruktur menjelaskan prosedur pembelajaran CTL.
c.        Peserta dibagi ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan jumlah peserta.
d.       Tiap kelompok ditugaskan untuk melakukan observasi, misalnya kelompok 1 dan 2 melakukan observasi ke pasar tradisional, dan kelompok 3 dan 4 melakukan observasi ke pasar swalayan. Melalui observasi siswa ditugaskan untuk mencatat berbagai hal yang ditemukan di pasar-pasar tersebut.
e.        Instruktur melakukan tanya jawab sekitar tugas yang harus dikerjakan oleh setiap peserta.

Inti Di Lapangan
a.        Peserta melakukan observasi ke pasar sesuai dengan pembagian tugas kelompok.
b.       Peserta mencatat hal-hal yang mereka temukan di pasar sesuai dengan alat observasi yang telah mereka tentukan sebelumnya.
Inti Di Dalam Kelas
a.        Peserta mendiskusikan hasil temuan mereka sesuai dengan kelompoknya masing-masing.
b.       Peserta melaporkan hasil diskusi.
c.        Setiap kelompok menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh kelompok yang lain.
Penutup
a.        Dengan bantuan guru siswa menyimpulkan hasil observasi sekitar masalah pasar sesuai dengan indikator hasil belajar yang harus dicapai.
b.       Instruktur menugaskan peserta untuk membuat karangan tentang pengalaman belajar mereka dengan tema “pasar”.


0 comments: